Bicara tentang kemiskinan selalu menimbulkan polemik. Kita masih ingat SBY dicecar habis-habisan oleh anggota parlemen gara-gara angka kemiskinannya dianggap tidak valid. Yang terbaru, debat kusir antara dua jenderal, lagi-lagi tentang angka kemiskinan. memang masalah kemiskinan masih sebatas pada debat masalah angka, bukan pada substansi permasalahan yaitu bagaimana cara mengentas kemiskinan. Orang miskin selalu menjadi objek yang menarik dalam berbagai diskusi, seminar, lokakarya dan penelitian. Tidak jarang pembicaraan ini berlangsung di hotel mewah bertebar bintang.
Kenapa angka kemiskinan selalu menjadi polemik? Karena kita semua tidak konseisten menggunakan dasar pengkategorian MISKIN itu sendiri. Tiap instansi memiliki standar yang berbeda-beda tentang KEMISKINAN. Contoh nyata adalah BPS dan BKKBN. Belum lagi UNDP juga melaunching standar kesejahteraan yang tentu saja jauh berbeda dengan BPS dan BKKBN. mana yang benar?
Semuanya SALAH!....
Kemiskinan hanya bisa diukur melalui standar di tingkat lokalitas. Mengapa? Miskin di Malang, berbeda dengan miskin di Jailolo. Miskin di Ciampea berbeda dengan miskin di Waingapu...
BKKBN menggunakan indikator yang menurut saya sangat lucu, "berapa kali makan sehari?"
Lha kalau saya cuma makan dua kali sehari, berarti masih miskin dong!
Lantai rumah dari tanah, plester atau ubin? Lha kalau rumah panggung?
Sekali lagi ukuran kemiskinan di tingkat lokalitas atau komunitas menurut saya lebih tepat.
|