Thursday 10 January 2008

UU guru dan dosen, FKIP harus berakhir....

UU tentang guru dan dosen telah disahkan dua tahun lalu. Sebuah UU yang membawa semangat perubahan akan mutu pendidikan Indonesia. UU tersebut mengamanatkan adanya peningkatan kualitas profesionalisme pendidik dan tentu saja menjanjikan sebuah harapan bagi bangsa kita. Harapan peningkatan mutu pendidikan sekaligus mutu kehidupan pendidik.

Seseorang yang telah lolos sertifikasi saja yang berhak untuk menyandang profesi sebagai pendidik, entah guru atau dosen. Sang pendidik yang telah mempunyai sertifikat akan mendapatkan tunjangan profesi senilai satu kali gaji pokok. Guru besar (profesor) akan mendapatkan tambahan pendapatan berupa tunjangan kehormatan sebesar satu kali gaji pokok, praktis total pendapatan guru besar menjadi tiga kali gaji pokok. Sebuah pemikiran yang diderive dari “Jangan bicara kualitas, kalau kesejahteraan belum terjamin!”. Pemikiran serupa juga muncul ketika membahas masalah korupsi, “Berikan kesejahteraan (gaji yang tinggi), agar mereka tidak korupsi!”. Entah benar atau tidak pemikiran itu ? Ah... entahlah ?...

UU tersebut mengharuskan guru untuk meraih pendidikan S1. Sebuah syarat yang “relatif mudah” untuk didapatkan, terlebih bagi guru atau calon guru berusia muda. Sedangkan bagi dosen, syarat pendidikan minimal adalah S2.

***

Permasalahan yang terjadi adalah pada proses sertifikasi. Sertifikasi yang dilakukan tanpa melalui uji kompetensi. Sertifikasi dilakukan dengan penilaian portofolio saja, tidak ubahnya dalam syarat kenaikan pangkat atau jabatan fungsional melalui angka kredit. Banyak kasus yang telah terjadi terutama pada sertifikasi guru (sertifikasi dosen belum dilaksanakan), mulai dari pemalsuan ijasah S1, fenomena jasa pembuatan karya ilmiah, hingga ctrl+C ctrl+V sebuah karya ilmiah. Semangat peningkatan mutu pendidikan terlindas oleh semangat peningkatan mutu hidup.

Pemerintah harusnya konsisten pada semangat UU yang bertujuan meningkatkan profesionalisme guru. Paling tidak proses sertifikasi melalui tahapan uji kompetensi. Bagi guru yunior (dibawah golongan III-d, misalnya) diwajibkan untuk mengikuti pendidikan profesi, yang diakhiri oleh uji kompetensi tentunya. Sedangkan guru senior, langsung mendapatkan kehormatan berupa pengakuan “profesi guru”. Paling tidak dari sisi pengalaman mereka telah mumpuni dibandingkan guru yunior. Hal ini telah dilakukan kepada dosen dengan jabatan guru besar (profesor). Guru besar tidak perlu melalui proses sertifikasi, karena dianggap telah “berkualitas”. Walaupun mungkin kalah berkualitas dibandingkan dosen dengan jabatan paling rendah (asisten ahli).

Konsekuensinya adalah masalah dana. Pendidikan profesi membutuhkan dana besar. Lha kuota sertifikasi per kabupaten/kota saat ini juga sangat terbatas. Kita tahu alasan utama pemerintah adalah ketersediaan dana untuk membayar tunjangan profesi tersebut.

Permasalah lain adalah timbulnya kecemburuan bagi PNS non guru dan dosen. Apalagi kalau tidak kecemburuan kesejahteraan. PNS non fungsional yang tidak menjabat (stuktural) hanya mendapatkan gaji pokok plus tunjangan umum. Selain itu kenaikan pangkatnya melalui kenaikan pangkat “otomatis” empat tahunan. Sangat berbeda dengan PNS fungsional yang dapat naik pangkat dalam waktu “dua tahunan” dan lagi adanya tunjangan profesi bagi guru dan dosen.

Terlepas dari itu semua, UU guru dan dosen (utamanya guru) membawa konsekuensi perlu dihapuskannya program studi kependidikan. Mengapa ? Guru harusnya dipandang seperti profesi dokter. Sehingga untuk mencapai profesi guru, seseorang harus mengikuti program pendidikan profesi. Apapun program studi atau bidang ilmunya, apabila seseorang ingin menjadi guru harus mengikuti program pendidikan profesi ini. Menurut saya, mereka yang belajar di program studi fisika (misalnya) akan memiliki kemampuan keilmuan fisika yang lebih dibandingkan mereka yang belajar di program studi pendidikan fisika. Selama menempuh pendidikan S1, biarlah seseorang murni belajar tentang bidang ilmunya saja, tanpa dirusuhi oleh ilmu tentang teknik dan metode pendidikan. Biarlah dia menjadi ahli fisika, biologi, ekonomi, informatika atau sosiologi yang kaffah. Baru kalau seseorang ini berminat menjadi guru, dia harus mengikuti pendidikan profesi guru. Yah.. gampangnya seperti ko-as dokter umum atau dokter hewan sajalah. Bukankah ini sudah berlaku untuk profesi advokat dan akuntan?

UU guru dan dosen pun tidak memberikan adanya pembedaan antara S1 keguruan dan kependidikan dan S1 umum (non kependidikan). Lalu apa gunanya FKIP? Toh eks IKIP pun sudah membuka S1 umum.

Bukankah begitu?